Musik Clasik Kontemporer


Klab Klassik


”Apakah yang dinamakan musik kontemporer? Apakah istilah ini berkaitan dengan situasi ’kekinian’ atau ’masa akan datang’? Jika berkaitan dengan kekinian, lantas apa bedanya dengan musik populer? Jika berkaitan dengan yang akan datang, lantas apa bedanya dengan musik avant-garde atau garda depan? Lantas apa andil musik klasik terhadap kemunculan musik kontemporer? Ayo ikuti diskusi ini, gratis dan tidak memihak capres manapun. Peserta tamu: Royke B. Koapaha (dosen ISI Yogya), Diecky K. Indrapradja (komposer kontemporer).”

Demikianlah promosi yang dibuat oleh KlabKlassik baik di facebook maupun di blog dalam rangka menyambut diskusi musik kontemporer. Seyogianya diskusi yang diadakan hari minggu kemarin menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, tapi apakah yang terjadi? Begini ceritanya, diskusi mulai jam tiga, yang datang ada sepuluhan. Berbekal laptop dan televisi, Diecky K. Indrapradja memulai presentasinya. Kemana Pak Royke Koapaha? Katanya tertidur, jadinya telat, duluan saja, begitu katanya. Cerita Diecky tentang fenomena musik kontemporer di Indonesia cukup menjadi perhatian. Menurutnya, ada permasalahan serius tentang pendefinisian musik kontemporer di Indonesia. Dia pernah menemui, dalam suatu instansi pemerintah, -yang konon isinya pakar-pakar kebudayaan- mendefinisikan kontemporer sebagai: musik jaman sekarang, yang konotasinya Nidji dan kawan-kawan.

Lalu ia melanjutkan panjang lebar, masuk ke wilayah definisi, Chris lantas memotong, “Penting nampaknya untuk melakukan standarisasi secara internasional definisi musik kontemporer ini, karena nampaknya tidak jelas dan abu-abu sekali.” Entah karma atau bukan, Chris kemudian dipotong lagi oleh kehadiran Pak Royke yang nampak cukup dinanti. Wajar saja, Pak Royke ini bisa dibilang salah satu komposer musik kontemporer yang telah cukup lama malang melintang di blantika musik Indonesia. Kehadirannya di Tobucil terasa cukup berharga. Cukup, cukup, cukup terus.

Kedatangan Pak Royke bak kiai di akhir film horror: menyejukkan. Ini terlebih setelah sajian video dari laptop Diecky, -sebuah komposisi karya John Cage berjudul First Construction in Metal- yang dirasa secara subjektif oleh Tobuciler: kurang nyaman didengar. Isinya berupa sekelompok orang yang memukuli benda-benda keras seperti baja, seng, dan besi-besian, namun berupaya untuk mencapai harmoni. Harmoni yang dimaksud jelas bukan estetika yang kita kenal secara umum, melainkan harmoni yang tak wajar, sungguh tak nyaman didengar. Lalu laptop Diecky seolah tak henti menyuguhkan sajian “abnormal”: ada duet piano dan sopran, tapi sang soprano menyanyi dengan duduk di atas piano, dan pianisnya pun tak main tuts piano, tapi hanya memukul-mukul tutupnya; lalu ada gambar-gambar partitur yang ditulis secara tidak wajar: alih-alih macam toge biasa, ini malah ada yang berbentuk spiral, benang kusut, hingga diagram atom!

Dengan candaan yang renyah, Pak Royke selalu mampu menengahi ketakwajaran sajian sore itu, dengan kengernyitan dahi para peserta. Menurutnya, “Berbagai ‘keanehan’ ini, jangan dilepaskan juga dari semangat jaman itu. Waktu itu tahun 1950-an, ketika Amerika baru menang Perang Dunia II. Wajar jika komposer Amerika banyak yang aneh-aneh. Pertama, status pemenang perang membuat mereka merasa punya hak untuk menentukan nilai kebudayaan. Kedua, pemain musik hebat kebanyakan ada di Eropa, sehingga ini juga yang mendorong orang-orang Amerika untuk menampilkan musik anti-virtuositas. Yah, yang begitu, yang bisa dibilang ‘asal bunyi’. Ketiga, Amerika tidak punya tradisi kebudayaan yang kuat. Ya beginilah jadinya, mereka menciptakan semacam kebudayaan yang baru. Bahkan sempet ada pemeo, ‘kalo ga aneh namanya bukan seni!’” Ujaran Pak Royke ini cukup menyegarkan, setidaknya ada semacam kesadaran: bahwa yang “aneh-aneh” itu, ada latar belakang yang masuk akal dan bolehlah dimaklumi.

Masuk akhirnya ke pertanyaan Chris tadi, Pak Royke menjawab sederhana namun dalam, “Kontemporer berarti kekinian, namun didasari oleh sikap yang melampaui kemapanan.” Sebenarnya terjawabkah seluruh pertanyaan yang dilontarkan di awal paragraf ini? Tidak juga, karena tak mesti semuanya dijawab. “Tak mesti kita menanam pohon, kita yang memetik buahnya. Kenapa tidak berpikir anak cucu kita kelak yang akan memetiknya?” demikian ujar Diecky, menengahi sisa kebingungan yang masih menggelayuti peserta. Intinya, tak mestilah kita paham sekarang. Atau bahkan, jangan-jangan, diskusi ini bukan dalam rangka mencari pemahaman. Melainkan sekedar refleksi, dan sedikit mengguncangkan pikiran agar tetap waras senantiasa.

http://tobucil.blogspot.com

0 komentar: